(I 'am my Mother's and Elite's)
Ilustrasi: Alam Dogiyai/Yohan
Pada Tahun 2019 silam, tepat pada bulan April. Kabut tebal itu menyelimuti lembah hijau , per-detik, sinar matahari pagi membuka kabut tebal, posisi jarum jam berada pada pukul 6:30 WIT, tandahnya bahwa rakyat mulai menyiapkan perkakas untuk ke kebun, anak sekolah mulai masuk ruang kelas untuk belajar, para guru dan dosen mengajar, mendidik, mendoktrin prinsip -prinsip kemanusiaan dalam mendedikasikan diri kepada Tuhan, Manusia dan Alam dan menjelaskan proses peningkatan perekonomian pendapatan per-kapita dan perkembangan produk domestik bruto (PDB), serta hambatan gejolak perekonomian yang akan hadapi beberapa tahun kedepan, pejabat politik mulai memikirkan solusi, dan Mahasiswa/i sedang menanyakan dunia disekitar kita. Pembagiaan tugas dan tanggung jawab masing-masing komponen sosial yang rapih, menunjukan bahwa, kami memiliki massa depan bangsa yang kuat dan jaminan hidup yang menjanjikan.
Sebagai makluk sosial, manusia tidak dapat berdiri sebelah dirinya sendiri, Manusia adalah mahkluk politik (Aristoteles), karenanya manusia musti berfikir jangka panjang agar sosio cultural bisa membentuk satu ideologi dan menjadi bangsa merdeka berdasarkan asas antropologi ekologi dan memeggang tegu pada prinsip kemanusiaan dalam melakukan pelayanan public dan diplomasi-diplomasi antar negara dan daerah.
Untuk itu, seorang ibu rumah tangga tidak pernah bercita-cita hanya untuk menjadi orang kaya dalam mengatur keuangan keluarga, lebih dari itu adalah mengorbankan jiwa dan raga, bergumul dalam doa, untuk melahirkan, merawat, mendidik, membesarkan anak bangsa agar suatu saat menjadi vitamin kehidupan bagi bangsa dan negara.
Dalam pusaran dunia yang tidak pasti akan fonemena perkembangan moderenisasi yang cukup tajam, sangat sulit mengimbagi ambivalent integrasi sosial yang cendrung pada akulturasi sosial, disini kita musti bijak untuk memilih transformasi budaya apa yang kita terima, jika kita apatis terhadap budaya baru dan pengarunya, maka antropologi ekologi kita bisa saja menjadi tergadaikan. Apa yang menjadi kebiasaan kita, buat beden, cabut rumput, gali ubi, terlebih lagi pesan moral untuk bertahan hidup tanpa ada tindakan represif mengganggu perasaan orang lain disekitar lingkungan sosial, tidak ada nurani mencari pujian dari orang lain, dan juga pristiwa-pristiwa penting seperti, perayaan pesta (Yuwoo), tujuan dari itu adalah untuk membagun silahturami sama keluarga agar hubungan keluarga tidak putus dan lebih humanis lagi melakukan transaksi jual beli daging babi dengan harga ekonomis yang bisa dijangkau, (Murah Meria) tujuannya untuk saling mengenal sesama manusia untuk membangun ikatan persaudaraan.
Pradigma sosio cultural terus berubah setiap zaman, orang tua kami mengizinkan untuk sekolah dan sekarang kami sudah sekolah, kami tau bagimana manusia mengembangkan diri dengan Alam, kami juga tau bagimana orang tau telah mengajarkan nilai-nilai humanisme dan bagimana manusia membangun hubungan relasi dengan Tuhan secara pribadi, agar tidak terjadi kontradiksi yang menyimpang dalam renegerasi dalam pusaran geogerifi, demographic dan sosial budaya.
Usia saya baru menjalang dupuluh-an tahun, jelas-lah saya tidak punya pengalaman secara rinci mengenai latar belakang kehidupan statis orang tau dulu, secara kasatmata, terlintas dalam pikiran saya, hanya apriori, dan saya meyakini bahwa kendati realitas manusia dulu jauh lebih sopan, mereka kritis terhadap suatu problematika dari sudut pandang kebenaran dan keadilan, buktinya mereka meninggal pada usia yang seharusnya mereka meninggal (Keke kagani).
Integerasi massa transisi politik praktis keadalam renah pertiwi (Indonesia) melalui pesta demokrasi, Pilpres, pilgub, pilbub, pildes, pileg ini, apakah kita mampu menjelaskan bagimana bisa menjamin kedamaian, bagimana bisa membangun telorensi beragama/budaya, bagimana kita merawat, memupuk keutuhan komponen masyarakat, bagimana kita mengdepankan prinsip keadilan dan kebenaran, jika kita tidak dapat menjelaskan itu semua, maka pertanyaanya adalah apakah tidak paham, apakah tidak sanggup, apakah realitas sosial tidak mengizinkan, apakah realitas sosial menguasai kita. Jawab sesuai hati nurani masing-masing. Sebab fisikologi, idealisme dan teori tradisonal ada dalam jiwa kita, semenjak setiap diri manusia mengenal lingkungan sosial, dimana ia tinggal dan menetap.
Disamping itu kita juga tau bahwa kendati pemikiran-pemikiran baru yang melahirkan rasionalisme, sehingga melahirkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebebasaan (Praksis). Pemikiran modern itu melahirkan revolution industry, dengan perkembangan kapitalisme, yang kini kita diasingkan dalam alat produksi dan pradigma politik praktis kontemporer yang jelas keluar dari koridor kemanusiaan.
Dalam perkembangan moderenisasi yang cukup ini dan warna-warni dunia sesuai dengan idealisme masing-masing person, ibu saya pernah bilang, kehidupan tidak akan pernah jatu dari langit dan kehidupan itu hasil usaha orang, jangan pernah membenci kehidupan karena kehidupan ada karena kita hidup". bukan berarti bahwa kita tunduk dibawah ketiak kolompok oligarki yang memainkan peran politik yang cenderung keluar dari prinsip kebenaran dan keadilan, serta ideologi kapitalis yang tumbuh subur di benua Eropa dan kini menjadi budaya Eropa dalam mentransformasi revolution industry dibelahan dunia, tetapi bagimana menjadi diri sendiri dalam mengembangkan diri dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
Karenanya, hidup dalam masyarakat digital dan serbah bisa, manusia punya potensi, tumbuh subur antagonisme sosial dan konflik politik yang cendrung pada nafsu kekuasaan dalam asosiasi, groups, state, elit, serikat buru, desa, kota dan kelompok-kelompok sosial lainya, konsekuensi dari itu, manusia dipaksa untuk harus bisa bersaing dalam segala hal sesuai dengan idealisme atau pun diluar dari idealisme agar supaya eksistensi individualistik nya diakui public, disini berbanding balik dari koridor historis kehidupan dulu dan kini yang sedang kita anut, karena penghianatan terus dipujah dibalik sosio cultural, sebab idealisme dijadikan untuk menjustifikasi pemuasaan hasrat dan mengobati luka fikologis yang pernah terluka, bukan berada pada perjuangan ideologi, bukan lagi pada kemanusiaan, politik praktis kontemporer jelas keluar dari koridor kemanusiaan, kami merai jabatan politik dengan korban nyawa dan harta kekayaan, tidak ada cara elegant yang menunjukan kepada public untuk membuka wawasan politik, fisikologis sudah terkikis habis, idealisme bukan berada pada pada posisi pelayanan public, justru terbalik dari fundamentalisme biologis.
Paham atau tidak, bagi yang paham tentang situasi dan aktifitas politik praktis kontemporer mereka menganggap anarkis masih terhormat dibanding elit politik yang menawarkan retorika politik tidak berisih substansial, konsekuensi dari itu, melihirkan kebijakan gegabah, tidak berdasarkan realitas sosial, memeca belah keluarga, memupuk fanitik agama, kekuasaan dijadikan untuk menjustisi status quo, harapan membangun kesadaran sosial dan mempuk kearifan lokal berdasarkan geogerafi, demographic dan sosial, hanya sandiwara dipanggung politik karena kita menggati pekerjaan mencari nafka hidup di rana kontentasi politik praktis, berkebun, beternak, berwira usaha adalah hal yang merugikan bagi kita, semua itu adalah transformasi dinamika politik agar sejarah peradaban umat manusia (Kita) bergerak dari teori tradisional ke rasionalisme sesuai perkembangan proses produksi ekonomi, kami hampir mau hilang. Masih adakah tempat untuk kita berpijak untuk menunjukan diri. Semua pada membisu, kami mau mengadu sama siapa, sementara kelompok oligarki dengan paham rasionalisme politik kontemporer masih pegang kendali, ahkirnya kehidupan politik tradisonal dan nilai- nilai humanis sudah diambang kepunahan.
Semoga bermanfaat !!
Salam Generasi Mudah, Salam Perubahan. Cinta Kasih Yesus Menyertai Kita.
Penulis: Yohan Tebai
Pewarta: Petu.